anakku, kelak fotomu mungkin tidak akan ibu unggah di media sosial.
karena ibu tidak mau.
tulisan ini tidak bermaksud menyalahkan siapapun. baik orang tua maupun para pengguna media sosial. enjoy!
Adanya media
sosial sekarang jelas sudah jauh mengubah cara kita berkomunikasi,
berinteraksi, bersenang-senang mencitrakan diri, berbelanja, dan lain lain.
Paling tidak cukup merubah para pengguna aktifnya. Pernah dengar mungkin
mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat? Ciieee. Yup ndak penting cie itu,
lanjut ya. Terus kalau kata sondre lerche dalam penjelasan lagu i'm
always watching you itu kira-kira kita bisa merasa begitu dekat dengan
seseorang yang bisa jadi benar-benar asing, tapi karena sering melihat
instagram feednya, facebooknya, twitter dan lain sebagainya menjadi merasa
akrab, tahu, ingin tahun, sok tahu, ingin memiliki and so on... down to digital rabbit hole. Penguntitan yang tidak
ada habisnya (paling tidak sampai jempol yang hati-hati itu tidak ceroboh
mengscroll sampai postingan beberapa tahun yang lalu dan ter-tab 2x yakkk
ter-lope unchh. Penting -_-). Tapi saya tidak akan membicarakan bagaimana cara
saya menguntit my crush on internet, karena feed beliau saya ikuti sejak dini
sekali, bahkan telur twitternya belum pecah waktu itu! (cacak creeper iih).
Opini tak populer ini adalah tentang bagaimana saya menguntit kehidupan seorang
anak dari sejak usianya 2-3 tahun, hingga terakhir sudah mulai bersekolah di
tk. Usia yang sangat-sangat dini untuk diikuti kan?
Berada disituasi
mengerjakan tesis ini dan bertemu teman-teman yang pintar, kritis, dan membuka
wawasan yang lebih luas lagi terutama dibidang penelitian terhadap anak. Ini
mengantarkan saya pada etis penelitian pada anak yang ternyata sangat rumit
untuk dijaga, karena saya orang yang lebih tua dalam posisi tertentu di lokasi
penelitian memiliki power. Saya bisa
saja meminta anak untuk mengikuti aturan saya, mengancam mereka, memanipulasi
data sebagaimana yang saya inginkan anak itu bertingkah laku sesuai ekspetasi
saya sebagai manusia yang mudah lalai, dan lain sebagainya. Namun tahukan saya
bahwa sesungguhnya foto anak, nama anak, identitas rinci anak tidak boleh saya
libatkan dalam penelitian ini, lalu mereka memiliki hak untuk tidak mau menjadi
partisipan saya dengan alasan apapun? Ya baik, saya tidak pernah percaya foto
memberikan suatu pengaruh yang signifikan dalam penelitian ini kecuali hanya
sebagai bukti saya pernah datang ke lokasi penelitian. Lalu kalau tentang nama,
saya di penelitian lalu belum menggunakan nama samaran, hanya inisial, yang
mana itu cukup berbahaya sebenarnya. Kemudian kalau tentang identitas rinci itu
memang di luar kemampuan saya untuk menjangkaunya. Dan anak sah-sah saja bilang
tidak mau difoto, tidak mau dicatat, dan kalau orang tuanya tidak mengijinkan
saya dengan usaha apapun tidak etis untuk menjadikan anak bagain dari data, itu
sudah saya sampaikan dan alhamdulillah sampai selesai di lapangan tidak ada
penolakan sekalipun sudah saya ingatkan berkali-kali pada anak bahwa “Bu Ani
bukan bu guru biasa ya, ini lagi tugas sekolah untuk mencatat teman-teman. Boleh
ndak?”. Mengapa itu semua penting? Karena dari data yang saya paparkan nantinya
dihasil akhir dapat berdampak buruk terhadap citra diri anak, tidak semua yang
saya tulis manis seperti tingkah laku anak iklan susu bubuk di TV. Mereka anak-anak
yang sangat kompleks latar belakangnya, baik dari cara orang tua mendidik, lingkungan sosial-ekonomi tempat di besarkannya,
hingga menjadi cerminan bagaimana
generasinya saat ini. Tidak adil jika suatu saat misalnya ada orang yang
membaca hasil tulisan saya, melihat foto anak yang menjadi partisipan, kemudian
mengetahui namanya, lalu berkesimpulan sedemikian rupa hingga misalnya
mengganggap anak tesebut tidak ramah lalu jauh menyimpulkan bahwa keluarganya
tidak becus mendidik anak. Padahal kehidupan yang saya tuangkan dalam tulisan cuma
sekelumit diskursus yang penting bagi saya diangkat. Bukan resume dari kehidupan
anak tersebut.
Dari curhat refleksi peneliti yang
panjang dan bertele-tele tersebut, saya tersadar akan banyak hal yang menarik
sekali paling tidak bagi diri saya yaitu tentang ig-famous kids atau anak-anak
yang terkenal lah di platform instagram beserta pengikutnya. Tidak kenal secara
pribadi, tidak pernah ketemu, bukan anak saudara atau teman, bukan juga anak
selebriti, tapi yang mengikuti bisa sampai ratusan ribu atau ada yang jutaan,
dan bahkan ada yang ter-featured di
9gag. Ada yang sampai terendorse macam-macam produk, hingga didatangkan sebagai
bintang tamu di stasiun TV swasta nasional. Saya hanya satu dari jutaan orang
lainnya yang mengikuti anak-anak ini (gak sih Cuma 1 yang diikuti), kemudian
tersadar banyak hal dari bagaimana orang-orang berkomentar di kolom komentar
dan bagaimana si pengunggah foto/video ini terhadap si anak, ah belibet. Yaitu:
Satu, menuntut
Menuntut si ibu atau siapalah walinya
untuk ada video baru. Ada yang berkomentar baik hingga menanyakan kabar, tanya
pada tetangganya, pada bibinya, kakeknya, si anak mengapa lama tidak mengunggah
foto/video. Catat ya, nanyanya juga melalui media sosial, kolom komentar. Ada juga
suatu saat dengan fasilitas siaran langsung para pengikut, meminta si anak
untuk nyanyi. Saya pribadi cukup kaget dengan situasi tersebut, seorang asing
meminta anak orang asing untuk bernyayi. Ya meskipun yang baca cuma ibunya(itupun
kalau terbaca sama ibunya). Tapi siapa kita? Ada hak apa kita minta anak orang
untuk melakukan ini itu? Mereka tidak memandatangani kontrak apa pun dengan
para pengikutnya, sekalipun sudah menaruh sekelumit kehidupannya untuk dilihat
orang melalui media sosial. Mereka bukan para pembuat konten seperti platform
youtube yang terkadang meminta saran pada penontonnya, agar sesuai keinginan
para penonton yang akhirnya mengguntungkan bagi kreator juga dengan akumulasi jumlah
video diputar dan iklan yang ada. Anak yang bahkan belum tau mungkin dirinya
terkenal, tidak sadar bahwa terkadang tingkah lakunya menjadi tontonan banyak
orang, pernahkah ditanyai ijinnya? Suatu
kali saya membaca keterangan si ibu yang sampai meminta maaf pada para ‘penggemar’
ketika ketemu si anak terlihat tidak ramah, bahkan tidak suka ketika ada
telepon selular pintar yang merekamnya. Kalau didalam konteks penelitian saya
positif menarik diri untuk meneliti anak tersebut, karena dirinya sudah
menunjukkan penolakan, rasa tidak nyaman, sekalipun misalnya maksud saya tidak
buruk sama sekali. Tapi dikehidupan nyata dari kasus tersebut jelas kita punya
kekuatan untuk merampas hak privasi anak, yang mungkin senang bermain
biasa-biasa saja. Merekam atau foto hanya sanggup dilakukan leluasa oleh ibunya
karena sudah pasti akrab dan jelas memiliki hak mau dibagaimanakan si anak ini.
Kalau orang yang baru ketemu baiknya sudahlah cukup bersukur bertemu, mangajak
bermain yang baik jika anak dan orang tua mengijinkan, tidak perlu merekam,
memeluk, mencium, atau mencubit pipi anak. Konsep mengidolakan hingga harus
berfoto video begermas ria hingga diunggah lagi sebagai bukti sudah bertemu
belum anak pahami lah, bisakah kita mencoba menimbang dari sisi diri anak yang
tidak tahu tersebut?
Kedua, ajang siapa paling benar
Soal mendidik anak itu kalau bagi orang
tua adalah hal yang sangat pribadi. Tidak ada orang tua yang senang dikritik
tentang bagaimana cara membesarkan anaknya. Sekalipun kita bersikeras itu
salah, ya orang tua itu selalu berusaha untuk berbuat yang benar bagi anaknya,
meskipun caranya mungkin salah. Tidak ada orang tua waras ingin anaknya celaka
atau jadi anak yang tidak terpujilah pasti perlilakunya, semua pasti mau
anaknya bai-baik saja. Lebih bahaya kadang saat orang tua memberikan keterangan
yang berkaitan dengan kesehatan, wih ramai sekali kolom komennya bilang yang
dilakukan itu tidak bersih dan berbahaya bagi anak. Apa boleh buat, jadi adu
otot jempol tangan kan yang berkomentar. Yang bahayanya juga, kalau yang
dilakukan itu memang benar salah, tau tidak cocok dilakukan pada anak lain sih,
kemudian orang tua lain mengikuti. Kalau terjadi apa-apa pada anak minta
tanggung jawab sama siapa?
Ketiga, penjahat
Di dunia ini banyak orang jahat. Di dunia
maya lebih banyak lagi, berada dibalik layar dengan akun yang tak jelas kita
bisa berkomentar apa saja, nge-troll, mengunduh foto, menyebarkannya lagi, dan
lain sebagainya. Berkomentar di dunia maya itu bebannya tidak seberat
mengkritik langsung orang yang bersangkutan kan? Ketik, beres. Mau yang baca
tersinggung, sedih, sampai jatuh harga dirinya, kita tidak pernah tahu
langsung. Selesai bagi yang mengetik, cerita lain bagi yang membaca. Ya, dalam
konteks ini anak ada yang mungkin belum membaca, tapi orang tuanya? siapapun
orangnya yang dibalik layar ponsel itu orang asli, punya kehormatan. Lantas dikomentari
fisik misalnya..kebayang tidak di depan wajah kita ada orang asing yang bilang,eh gigi kau jelek sekali ya udah maju kuning
pula. Ibu mu tak ajarkan rawat gigi yang benar ya? Pasti sibuk ngurus karirnya
sama gaul dengan teman sosialitanya sampai kau tak terurus. Jangan bapakmu juga
ninggalin ibu mu sama istri muda karena tidak diurus? Kau orang berada tapi,
pelit kali ngurus diri mu...blablabla. Tidak mungkin kan, tapi mungkin
kalau troller yang menulis itu. Lalu foto dijadikan meme sangat mungkin sekali,
ya lucu bagi yang membuat, kalau garing bagaimana? Haha. Hmm dilaporin lah sama
papa :P. Tapi kalau anak-anak ya, bagaimana kalau fotonya bukan hanya dijadikan
meme, tapi kemudian dimodifikasi untuk kepentingan promosi misalnya yang bisa
saja tidak bertanggung jawab produk atau jasanya. Atau yang lebih mengerikan
beredar di forum tertentu seperti predator seksual anak-anak apalagi foto
atau videonya berbaju minim, sedang
dimandikan, atau tidak menggunakan baju. Ya kalau orang normal tidak masalah
dengan hal tersebut, kalau orang ‘sakit’? hiii. Terus, penculikan. karena jelas
seragam sekolahnya sampai lokasi sekolahnya dicantumkan, dengan informasi yang
telah dibagikan secara akrab bisa jadi ini terjadi kan? Nama tahu, kesukaannya
apa tahu, nama orang tua tahu, sudah akrab benar kita rasanya sama si anak. hiii.
Pada akhirnya, keputusan mengunggah
foto/video anak ke media sosial mutlak haknya orang tua. Tapi boleh kali
anaknya ditanya mau atau tidak, terus diajak diskusi tentang kenyataan
bahayanya media sosial dari komentar yang menyakitkan hati, haters, penjahat
kelamin, penculik dan lainnya. Ini pendapat pribadi saya saja, boleh dong anak
tahu semua resiko itu sebelum masuk ke ranah atraksi publik mengerti atau tidak
mengerti nanti juga mengerti. Dan untuk anak-anakku nanti, ibu pasti bahagia dan bangga sekali dititipi kamu seperti semua orang
tua kebanyakan yang mengupload foto anaknya di internet. Tapi sampai kamu cukup
mengerti semua bahaya di luar sana, sanggup mempertanggung jawabkan dan menjaga
dirimu sendiri, dan secara matang kognitifnya mengerti apa yang ibu jelaskan
atau mintakan ijinmu terhadap foto yang akan ibu upload, maka biarlah kenangan
dirimu ibu simpan dalam memori hp ibu dan kepala ibu. tak perlu juga kamu buat akun media sosialmu dulu nak. Ingatkan juga ibumu yang
sekarang ini masih sibuk main hp untuk main dengan mu saja, bilang gini -Bu you
too old to be kids jaman now. Keputusan ini
final, bapak mu nurut saja lah haha. See you in the future kids.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar