saya, papa, dan seorang pria tua kurus berkepala hampir botak duduk menikmati teh di teras rumah sisi kiri, pria tua itu duduk di kursi goyang yang selalu berderit ketika mengayun. rumah kami megah terbuat dari kayu berdiri di sebuah bukit kecil, catnya putih gading dengan jendela-jendela besar. seorang ibu-ibu mengayam tikar di dekat kami. ia berkata mungkin badai besar akan datang hari ini. kami semua lalu serempak melihat ke langit, ya mendung sekali. dari teras saya melihat ke halaman belakang yang tanahnya menurun, rumputnya hijau agak kekuningan. ada seorang anak perempuan berambut hitam mengkilat sebahu di sana, matanya sendu menghadap kearah saya. hati saya merasa melihat anak itu seperti melihat kucing kecil yang memelas. saya menghampiri anak itu bertanya apa yang dilakukannya tapi ia hanya diam. saya berlari kembali ke teras, saya meminta papa untuk mengijinkan anak itu bergabung dengan karena langit sudah semakin mendung. namun papa malah bertanya anak yang mana, pria tua itu juga bertanya anak yang mana, ibu-ibu pengayam tikar juga bertanya anak yang mana, tidak ada yang melihat anak itu. padahal anak itu jelas-jelas berada di halaman belakang dan dapat dilihat dari teras. kemudian abang saya keluar dari pintu rumah mengampiri kami di teras. ia duduk di samping papa dan langsung menghidupkan rokoknya. tikar yang dianyam ibu-ibu itu kehabisan bahan. papa meminta abang saya untuk turun ke halaman samping untuk mengambil beberapa batang pohon pinang merah untuk bahan tikar anyaman ibu-ibu itu. saya ikut turun ke halaman bersama abang saya, sambil memegangkan parang untuk menebang pinang saya bertanya apakah melihat anak kecil di halaman belakang. kata abang saya iya dia melihat anak itu, saya pikir komentarnya akan panjang tapi abang hanya bilang iya. setelah menebang beberapa pohon kami menyeretnya ke dekat teras. tiba-tiba mama berteriak panik, beliau bilang badai hujan sudah turun di di dataran yang lebih tinggi, kemudian airnya akan mengalir ke sunggai yang memang letaknya tidak jauh dari rumah kami. ibu khawatir airnya akan terlalu banyak hingga meluap sehingga memohon agar kami mengungsi sementara waktu. secepat mungkin saya berkemas. hati saya tetap khawatir kepada anak kecil di belakang rumah. semuanya sudah siap di dalam mobil, saya cepat-cepat berlari ke halaman belakang menarik sebuah perahu dan mengendong anak kecil itu ke dalam perahu. saya meminta maaf pada anak itu karena tidak bisa membawanya, tapi dia masih diam saja. saya berlari ke mobil, pergilah kami mengungsi ke tempat yang lebih aman. saya semakin resah, karena hujan sudah mulai turun dan angin semakin kuat. saya meminta papa memberhentikan mobil sebentar, saya membuka pintu dan lari! lari sekencang-kencangnya kembali ke rumah untuk menemui anak peremuan di halaman belakang. setelah sampai saya mengeluarkan anak itu dari perahu. lalu saya berbaring di rumput, menatap langit. anginnya kencang sekali sehingga daun-daun kering disekitar saya dan anak itu terbang tak tentu seperti menari.
*ini mimpi semalam. suasana di sekitar rumah di dalam mimpi seperti di film Alice in Wonderland. anak kecil itu tidak cantik seperti manusia, cantikanya seperti boneka. setelah halaman belakang rumah sebenarnya ada hutan bambu yang batangnya keriting, indah tapi mengerikan. di sela-sela hutan bambu terlihat sebuah kastil dengan pagar yang besar, tapi saya tidak pandai mengungkapkannya.hehe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar