Senin, 25 Maret 2013

semudah tidak ingin

mungkin saja ada hari dimana berjuang itu sia-sia
mungkin saja ada hari dengan pertanyaan "untuk apa?"
mungkin saja ada hari untuk menjawab bisa
mungkin saja ada hari tercipta mematikan asa
mungkin saja ada hari untuk berkata "sudahlah tidak mengapa" 

Minggu, 03 Maret 2013

di tengah (2)

magno: aku tak mengerti mengapa ia hanya tertarik untuk ke selatan yang membuatku yakin untuk mengakhiri pertemuan-pertemuan selama tiga tahun ini. rambut merah bergelombangnya itu jelas sekali menandakan bahwa ia keturunan orang utara meskipun kulitnya tidak berbintik seperti para utara dan itulah yang membuat dia istimewa. eksotis lebih tepatnya. aku masih ingat saat pertama kali bertemu di kedai seberang bengkel Paman Nafih, tempat berkumpul para bajingan setelah seharian berkelakar. seorang laki-laki tua yang suka berdadan sepeti wanita menyodorkan sekantung emas padanya untuk bergabung di rumah pelacurannya. aku tidak pernah melihat harta sebanyak itu, semua orang pada saat itu pun aku yakin belum pernah melihatnya. daisy menepisnya hingga bertaburan di lantai dan keributan pun terjadi. ah singatnya saat Daisy bangkit sehabis ditampar germo itu ia menyibakkan rambut sebahunya, aku terdiam sangat lama. aku tak sempat melihat bagaimana Pero mengigit bokong sang germo. keterpakuanku usai sampai ia berlari keluar  bersama anjing gagahnya itu sambil tertawa yang diiringi suara tawa seisi kedai yang mengiringinya berlalu. 

daisy: tiga hari sudah berlalu aku belum juga selesai berkemas dan aku yakin Magno pasti sudah mulai melangkah berlawanan arah. Lola selalu bilang aku selalu menjadikan semuanya dramatis, hanya di dalam kamarku tentunya. kebencianku atas tanah ini terlalu pekat, bagaimana bisa aku terlihat lemah di luar sana? aku tidak pernah percaya dengan orang-orang selain di rumah ini. mungkin saat ini orang-orang sudah melupakan cerita para ular yang menyesatkan itu, bahwa dua gadis kecil yang dikirim itu hanyalah anak sang penipu. keberadaan kami di panti asuhan ini mungkin tidak terlalu mencolok bagi para Pesarah, lucunya semua anak yatim piatu mendambakan takdir kami. satu-satunya penghuni yang memiliki saudara kandung hanya kami berdua. saat aku berumur tiga tahun dan Lola delapan tahun kami diserahkan ke rumah Nyonya Karin oleh pelayan setia ayah. jika mereka tahu kisah anak sang penipu yang sampai harus dilarikan jauh dari utara ke kota industri ini maukah bertukar posisi dengan kami? bertahun-tahun aku menangisi nasib hingga aku benar-benar mengenal Magno.

bisa dibilang kami anak-anak yatim piatu rumah Nyonya Karin adalah anak tak berorang tua paling beruntung di Pesarah. rumah ini tidak besar, tidak bergelimang belas kasihan donatur kaya namun kami berada di tangan yang penuh kasih yaitu Nyonya Karin. kami tidak dibeda-bedakan, cinta dan tanggung jawab yang sama. sampai usia tujuh belas tahun kami tidak diijinkan untuk mencoba bekerja di luar rumah. ditambah sebagian besar anak penghuni rumah adalah perempuan yang membuat nyonya selalu berat melepas kami mandiri. sampai usia yang ditentukan aku memilih bagian bertani sebagai tugas rumah. aku cukup bangga karena diantara banyaknya anak perempuan disana yang lebih memilih memasak dan menjahit hanya aku yang memilih bersama anak laki-laki dekat dengan cacing dan ulat dan aku cukup kuat mengayunkan cangkul seperti laki-laki. karena itulah Nyonya Karin menghadiahiku Pero. sampai usia tujuh belas tahun aku diijinkan keluar mandiri dan mencari kerja pusat Pesarah. aku menyerah pada kata percaya, bahkan dendamku terhadap takdir juga mulai pudar berkat Magno karena kami berduan bertekad menjadi manusia yang berpegang pada hati.

bersambung....