Senin, 20 November 2017

my unpopular opinion (3)

anakku, kelak fotomu mungkin tidak akan ibu unggah di media sosial.
karena ibu tidak mau.

tulisan ini tidak bermaksud menyalahkan siapapun. baik orang tua maupun para pengguna media sosial. enjoy!


Adanya media sosial sekarang jelas sudah jauh mengubah cara kita berkomunikasi, berinteraksi, bersenang-senang mencitrakan diri, berbelanja, dan lain lain. Paling tidak cukup merubah para pengguna aktifnya. Pernah dengar mungkin mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat? Ciieee. Yup ndak penting cie itu, lanjut ya. Terus kalau kata sondre lerche dalam penjelasan lagu i'm always watching you itu kira-kira kita bisa merasa begitu dekat dengan seseorang yang bisa jadi benar-benar asing, tapi karena sering melihat instagram feednya, facebooknya, twitter dan lain sebagainya menjadi merasa akrab, tahu, ingin tahun, sok tahu, ingin memiliki and so on... down to digital rabbit hole. Penguntitan yang tidak ada habisnya (paling tidak sampai jempol yang hati-hati itu tidak ceroboh mengscroll sampai postingan beberapa tahun yang lalu dan ter-tab 2x yakkk ter-lope unchh. Penting -_-). Tapi saya tidak akan membicarakan bagaimana cara saya menguntit my crush on internet, karena feed beliau saya ikuti sejak dini sekali, bahkan telur twitternya belum pecah waktu itu! (cacak creeper iih). Opini tak populer ini adalah tentang bagaimana saya menguntit kehidupan seorang anak dari sejak usianya 2-3 tahun, hingga terakhir sudah mulai bersekolah di tk. Usia yang sangat-sangat dini untuk diikuti kan?

Berada disituasi mengerjakan tesis ini dan bertemu teman-teman yang pintar, kritis, dan membuka wawasan yang lebih luas lagi terutama dibidang penelitian terhadap anak. Ini mengantarkan saya pada etis penelitian pada anak yang ternyata sangat rumit untuk dijaga, karena saya orang yang lebih tua dalam posisi tertentu di lokasi penelitian memiliki power. Saya bisa saja meminta anak untuk mengikuti aturan saya, mengancam mereka, memanipulasi data sebagaimana yang saya inginkan anak itu bertingkah laku sesuai ekspetasi saya sebagai manusia yang mudah lalai, dan lain sebagainya. Namun tahukan saya bahwa sesungguhnya foto anak, nama anak, identitas rinci anak tidak boleh saya libatkan dalam penelitian ini, lalu mereka memiliki hak untuk tidak mau menjadi partisipan saya dengan alasan apapun? Ya baik, saya tidak pernah percaya foto memberikan suatu pengaruh yang signifikan dalam penelitian ini kecuali hanya sebagai bukti saya pernah datang ke lokasi penelitian. Lalu kalau tentang nama, saya di penelitian lalu belum menggunakan nama samaran, hanya inisial, yang mana itu cukup berbahaya sebenarnya. Kemudian kalau tentang identitas rinci itu memang di luar kemampuan saya untuk menjangkaunya. Dan anak sah-sah saja bilang tidak mau difoto, tidak mau dicatat, dan kalau orang tuanya tidak mengijinkan saya dengan usaha apapun tidak etis untuk menjadikan anak bagain dari data, itu sudah saya sampaikan dan alhamdulillah sampai selesai di lapangan tidak ada penolakan sekalipun sudah saya ingatkan berkali-kali pada anak bahwa “Bu Ani bukan bu guru biasa ya, ini lagi tugas sekolah untuk mencatat teman-teman. Boleh ndak?”. Mengapa itu semua penting? Karena dari data yang saya paparkan nantinya dihasil akhir dapat berdampak buruk terhadap citra diri anak, tidak semua yang saya tulis manis seperti tingkah laku anak iklan susu bubuk di TV. Mereka anak-anak yang sangat kompleks latar belakangnya, baik dari cara orang tua mendidik,  lingkungan sosial-ekonomi tempat di besarkannya,  hingga menjadi cerminan bagaimana generasinya saat ini. Tidak adil jika suatu saat misalnya ada orang yang membaca hasil tulisan saya, melihat foto anak yang menjadi partisipan, kemudian mengetahui namanya, lalu berkesimpulan sedemikian rupa hingga misalnya mengganggap anak tesebut tidak ramah lalu jauh menyimpulkan bahwa keluarganya tidak becus mendidik anak. Padahal kehidupan yang saya tuangkan dalam tulisan cuma sekelumit diskursus yang penting bagi saya diangkat. Bukan resume dari kehidupan anak tersebut.

Dari curhat refleksi peneliti yang panjang dan bertele-tele tersebut, saya tersadar akan banyak hal yang menarik sekali paling tidak bagi diri saya yaitu tentang ig-famous kids atau anak-anak yang terkenal lah di platform instagram beserta pengikutnya. Tidak kenal secara pribadi, tidak pernah ketemu, bukan anak saudara atau teman, bukan juga anak selebriti, tapi yang mengikuti bisa sampai ratusan ribu atau ada yang jutaan, dan bahkan ada yang ter-featured di 9gag. Ada yang sampai terendorse macam-macam produk, hingga didatangkan sebagai bintang tamu di stasiun TV swasta nasional. Saya hanya satu dari jutaan orang lainnya yang mengikuti anak-anak ini (gak sih Cuma 1 yang diikuti), kemudian tersadar banyak hal dari bagaimana orang-orang berkomentar di kolom komentar dan bagaimana si pengunggah foto/video ini terhadap si anak, ah belibet. Yaitu:

Satu, menuntut
Menuntut si ibu atau siapalah walinya untuk ada video baru. Ada yang berkomentar baik hingga menanyakan kabar, tanya pada tetangganya, pada bibinya, kakeknya, si anak mengapa lama tidak mengunggah foto/video. Catat ya, nanyanya juga melalui media sosial, kolom komentar. Ada juga suatu saat dengan fasilitas siaran langsung para pengikut, meminta si anak untuk nyanyi. Saya pribadi cukup kaget dengan situasi tersebut, seorang asing meminta anak orang asing untuk bernyayi. Ya meskipun yang baca cuma ibunya(itupun kalau terbaca sama ibunya). Tapi siapa kita? Ada hak apa kita minta anak orang untuk melakukan ini itu? Mereka tidak memandatangani kontrak apa pun dengan para pengikutnya, sekalipun sudah menaruh sekelumit kehidupannya untuk dilihat orang melalui media sosial. Mereka bukan para pembuat konten seperti platform youtube yang terkadang meminta saran pada penontonnya, agar sesuai keinginan para penonton yang akhirnya mengguntungkan bagi kreator juga dengan akumulasi jumlah video diputar dan iklan yang ada. Anak yang bahkan belum tau mungkin dirinya terkenal, tidak sadar bahwa terkadang tingkah lakunya menjadi tontonan banyak orang, pernahkah  ditanyai ijinnya? Suatu kali saya membaca keterangan si ibu yang sampai meminta maaf pada para ‘penggemar’ ketika ketemu si anak terlihat tidak ramah, bahkan tidak suka ketika ada telepon selular pintar yang merekamnya. Kalau didalam konteks penelitian saya positif menarik diri untuk meneliti anak tersebut, karena dirinya sudah menunjukkan penolakan, rasa tidak nyaman, sekalipun misalnya maksud saya tidak buruk sama sekali. Tapi dikehidupan nyata dari kasus tersebut jelas kita punya kekuatan untuk merampas hak privasi anak, yang mungkin senang bermain biasa-biasa saja. Merekam atau foto hanya sanggup dilakukan leluasa oleh ibunya karena sudah pasti akrab dan jelas memiliki hak mau dibagaimanakan si anak ini. Kalau orang yang baru ketemu baiknya sudahlah cukup bersukur bertemu, mangajak bermain yang baik jika anak dan orang tua mengijinkan, tidak perlu merekam, memeluk, mencium, atau mencubit pipi anak. Konsep mengidolakan hingga harus berfoto video begermas ria hingga diunggah lagi sebagai bukti sudah bertemu belum anak pahami lah, bisakah kita mencoba menimbang dari sisi diri anak yang tidak tahu tersebut?

Kedua, ajang siapa paling benar
Soal mendidik anak itu kalau bagi orang tua adalah hal yang sangat pribadi. Tidak ada orang tua yang senang dikritik tentang bagaimana cara membesarkan anaknya. Sekalipun kita bersikeras itu salah, ya orang tua itu selalu berusaha untuk berbuat yang benar bagi anaknya, meskipun caranya mungkin salah. Tidak ada orang tua waras ingin anaknya celaka atau jadi anak yang tidak terpujilah pasti perlilakunya, semua pasti mau anaknya bai-baik saja. Lebih bahaya kadang saat orang tua memberikan keterangan yang berkaitan dengan kesehatan, wih ramai sekali kolom komennya bilang yang dilakukan itu tidak bersih dan berbahaya bagi anak. Apa boleh buat, jadi adu otot jempol tangan kan yang berkomentar. Yang bahayanya juga, kalau yang dilakukan itu memang benar salah, tau tidak cocok dilakukan pada anak lain sih, kemudian orang tua lain mengikuti. Kalau terjadi apa-apa pada anak minta tanggung jawab sama siapa?

Ketiga, penjahat
Di dunia ini banyak orang jahat. Di dunia maya lebih banyak lagi, berada dibalik layar dengan akun yang tak jelas kita bisa berkomentar apa saja, nge-troll, mengunduh foto, menyebarkannya lagi, dan lain sebagainya. Berkomentar di dunia maya itu bebannya tidak seberat mengkritik langsung orang yang bersangkutan kan? Ketik, beres. Mau yang baca tersinggung, sedih, sampai jatuh harga dirinya, kita tidak pernah tahu langsung. Selesai bagi yang mengetik, cerita lain bagi yang membaca. Ya, dalam konteks ini anak ada yang mungkin belum membaca, tapi orang tuanya? siapapun orangnya yang dibalik layar ponsel itu orang asli, punya kehormatan. Lantas dikomentari fisik misalnya..kebayang tidak di depan wajah kita ada orang asing yang bilang,eh gigi kau jelek sekali ya udah maju kuning pula. Ibu mu tak ajarkan rawat gigi yang benar ya? Pasti sibuk ngurus karirnya sama gaul dengan teman sosialitanya sampai kau tak terurus. Jangan bapakmu juga ninggalin ibu mu sama istri muda karena tidak diurus? Kau orang berada tapi, pelit kali ngurus diri mu...blablabla. Tidak mungkin kan, tapi mungkin kalau troller yang menulis itu. Lalu foto dijadikan meme sangat mungkin sekali, ya lucu bagi yang membuat, kalau garing bagaimana? Haha. Hmm dilaporin lah sama papa :P. Tapi kalau anak-anak ya, bagaimana kalau fotonya bukan hanya dijadikan meme, tapi kemudian dimodifikasi untuk kepentingan promosi misalnya yang bisa saja tidak bertanggung jawab produk atau jasanya. Atau yang lebih mengerikan beredar di forum tertentu seperti predator seksual anak-anak apalagi foto atau  videonya berbaju minim, sedang dimandikan, atau tidak menggunakan baju. Ya kalau orang normal tidak masalah dengan hal tersebut, kalau orang ‘sakit’? hiii. Terus, penculikan. karena jelas seragam sekolahnya sampai lokasi sekolahnya dicantumkan, dengan informasi yang telah dibagikan secara akrab bisa jadi ini terjadi kan? Nama tahu, kesukaannya apa tahu, nama orang tua tahu, sudah akrab benar kita rasanya sama si anak. hiii.

Pada akhirnya, keputusan mengunggah foto/video anak ke media sosial mutlak haknya orang tua. Tapi boleh kali anaknya ditanya mau atau tidak, terus diajak diskusi tentang kenyataan bahayanya media sosial dari komentar yang menyakitkan hati, haters, penjahat kelamin, penculik dan lainnya. Ini pendapat pribadi saya saja, boleh dong anak tahu semua resiko itu sebelum masuk ke ranah atraksi publik mengerti atau tidak mengerti nanti juga mengerti. Dan untuk anak-anakku nanti, ibu pasti bahagia dan bangga sekali dititipi kamu seperti semua orang tua kebanyakan yang mengupload foto anaknya di internet. Tapi sampai kamu cukup mengerti semua bahaya di luar sana, sanggup mempertanggung jawabkan dan menjaga dirimu sendiri, dan secara matang kognitifnya mengerti apa yang ibu jelaskan atau mintakan ijinmu terhadap foto yang akan ibu upload, maka biarlah kenangan dirimu ibu simpan dalam memori hp ibu dan kepala ibu. tak perlu juga kamu buat akun media sosialmu dulu nak. Ingatkan juga ibumu yang sekarang ini masih sibuk main hp untuk main dengan mu saja, bilang gini -Bu you too old to be kids  jaman now. Keputusan ini final, bapak mu nurut saja lah haha. See you in the future kids.