Senin, 15 Januari 2018

Terlahir dengan ILVEN

Halo bagi yang menemukan tulisan ini bagi sesama pemilik ILVEN. Saya tidak merasa ini suatu penyakit yang menjijikkan, karena saya menggangapnya ini cuma suatu kondisi kulit, bukan penyakit. 
This is our norm, nothing wrong with it. We healthy human being that born with rare skin condition. By the way CO2 laser or cauterization did work for me. How about you?
And there is a facebook page for our condition https://www.facebook.com/ilvenawareness
Have a good day!

Dulu waktu praktek mengajar di sebuah desa yang tidak jauh dari ibu kota pontianak saya pernah ditayai oleh seorang peserta didik, "Bu itu tangannye luka ke?" - "Bukan nak, ibu lahir tangannye udah begitu".

Tu cek saja penjelasannya. Panjang kalau saya jelaskan, pun hingga selama ini dokter setiap saya tanya belum ada yang menjawab kondisi kulit di tangan saya apa sebenarnya. Selama ini saya hanya mencoba mencocokkan pejelasan dan foto dengan bantuan  google. Ada penjelasan yang bilang ini kondisi yang rare (wow aku spesial), ada yang menjelaskan sebagai hasil mutasi genetik sejak dalam kandungan (wow aku bisa gabung X-Men), lebih banyak dialami oleh perempuan, mulai ada sejak usia dini. Dalam hal ini saya terlahir demikian. Tidak berbahaya, dan jarang sekali mutasi hingga berubah menjadi kanker.

Selama 23 tahun saya hidup tidak ada masalah sama sekali dengan tanda lahir itu, sampai suatu sore rasanya gatal sekali. Kok ya nyamuk tepat benar gigit di kulit yang nonjol ini~ tapi ternyata bukan. Ada area yang terlihat merah, meluas, dan membengkak. Yang selama ini diingatkan dan dikhawatirkan oleh tante saya yang seorang perawat untuk mengangkat saja tanda lahir itu karena suatu hari akan tumbuh dan bermasalah akhirnya kejadian juga. Tidak apa pemicunya tanda lahir itu tumbuh saja. Berbekal uang 250ribu saya pergi ke klinik kulit di rumah sakit provinsi untuk periksa, sendirian. Sebelum masuk saya dirubung mahasiswa kedokteran yang magang (?), ditanya-tanya dicatat, bahkan digambar tanda lahir saya dalam buku laporan mereka. Masuk ke ruang periksa tidak panjang penjelasan dokternya, hari itu juga saya diberi tindakan. Harus hari itu juga, karena besok sama saja kata dokter dan mumpung sepi -_-. Saya sempat menolak karena yakin uang yang dibawa tidak akan cukup plus obat yang mungkin nanti ada diresepkan, eh dokternya lucu -mahasiswa ya? Udah 200 aja lah- ini aturan rumah sakit biaya tindakan sebenarnya bagaimana.

Akhirnya saya tidak sendiri, karena menghubungi mama (yang kemudian panik) datanglah tante yang rumahnya tak jauh dari rumah sakit dan yang tak lama kemudian datang juga mama dan seorang temannya yang menghantar. Lah rame. Satu jam saya diberikan salep anastesi dan akhirnya disuntik anastesi juga tanda lahir saya di cauter. Alatnya seperti solder listrik itu, jadi tidak ada pisau yang mengiris, tidak ada penjahitan, dan diperban juga tidak setelah selesai. Sakit? Bisa dibilang hampir tidak ada karena sudah dibius sebal kan. Selesai diluar dengan perawat saya diberi wejangan seperti, tidak apa kena air seperti wudu, nanti dikeringkan dan ini dioleskan ya salepnya. Sampai di rumah luka sisa tindakan malah saya beri air mengalir dari keran (ini bodoh, jangan ditiru) karena ada nanah, karena pasti ada nanah ada infeksi. Bodohnya saya yang awam medis ini biasa saja dengan keadaan nanah itu. Sampai sebulan saya baru datang lagi ke rumah sakit. Lukanya kok tidak kunjung sembuh.

Mestinya dengan kondisi luka setelah tindakan yang mengalami infeksi itu saya harusnya segera kembali memeriksakan. Tapi tidak saya lakukan, karena tidak tahu. Kenapa luka itu saya periksakan? Karena kulit disekitarnya merah dan gatal-gatal. Saya diberikan salep dan obat minum, dokternya berbeda pula. Kalau sama saya udah mengeluh habis-habisan. Ya tapi sudah lah. Dari kondisi itu saya tahu kalau mulai saat itu saya alergi ayam (hingga saat ini masih perkiraan saja karena hanya mengira-ngira setelah makan ayam kulit saya gatal-gatal).  Tapi kok salep yang diresepkan itu salep untuk herpes? Ya makin bingung, kok dokternya tidak mengabari kalau itu herpes. Konsultasi dengan dokter itu memang harus buru-buru apa bagaimana ya, mungkin hanya satu dua kali saya merasa diberitahu dengan lengkap dan diberi kesempatan menjelaskan. Apa karena saya kurang dominan dalam percakapan dokter kebanyakan cepat dalam ruang periksa atau sesimpel memang dokternya sudah paham kondisi saya tanpa mendengar panjang lebar keluhan saya. 

Sejak tindakan sampailah dibulan-bulan mendekati saya ditugaskan kuliah lagi oleh orang tua 2015 luka saya belum sembuh juga. Saya udah mencoba alternatif lain selain obat-obatan dari dokter, madu dan purpolis, hasilnya kulit saya tambah meradang. Pindah dokter juga diminta untuk sembuh dulu dengan diresepkan suplemen. Di bandung juga akhirnya saya periksa lagi ke klinik kulit di sebuah rumah sakit swasta terkemuka karena belum sembuh itu. Itu cerita dari 2014 ya belum sembuh, ini sekarang 2018 juga belum sembuh. Mama menghubungi saya dan meminta saya membeli kasa khusus luka yang dalam lapisan kasa tersebut sudah ada kandungan sejenis salep, sebuah pandangan dari seseorang yang kami kenal sebagai perawat. Tak sampai lima menit saya membalut luka, terjadi reaksi alergi pada kulit disekitar luka tersebut. Merah, bentol, dan gatal. Yup saya ketemu lagi kalau saya alergi padda kandungan-kandungan yang ada di perban itu. Setelah menjalani seminggu rekasi alergi yang masih sering gatal ini, saya menyadari ILVEN saya tumbuh lagi di area baru sekitar area asal tanda lahir yang juga tidak sempurna benar hilangnya setelah tindakan 2014 lalu. Sedih dan cukup down juga setelah mengiyakan secara logika ini reaksi yang mirip waktu pertama tanda lahir dulu gatal, meskipun memang bagian dari dipicu alergi kasa itu. Sudah terlihat jelas dua bintik berwarna cokelat seperti tanda lahir yang dulu. Hilang kesabaran tidak juga ya, kesal ya mungkin dulu karena infeksi setelah tindakan saya tidak teredukasi mesti bagaimana, capek ke dokter iya, pengen wudu sempurna lagi dengan tidak melewatkan bagian luka itu iya. Ikhlas yang mungkin masih belum sempurna ya pada saat ini. Saya ikhlas terlahir dengan ILVEN, cukup bangga malah kadang karena bentuknya aneh, dan aslinya tidak rela untuk dihilangkan karena tidak merasa bermasalah, tapi luka menahun yang tidak menutup cukup terpukul si iya, karena merubah hidup saya. suatu saat luka pasti sembuh kan. Aamiin. 

sekianlah cerita hidup dengan ILVEN dari saya. semoga jika yang membaca mempunyai kondisi yang sama bisa sama-sama bersabar dan ikhlas dengan kondisi kita. 

Rabu, 10 Januari 2018

123 ABC

Bagaimana cara membaca  judul tersebut? satu dua tiga a b c? atau one two three ei bi ci?

(tulisan ini hanya kegelisahan saya terhadap hal yang baru-baru ini dibahas oleh teman-teman angkatan almamater S1 dulu dan tentunya sanggat subjektif. tapi bolehlah teman-teman renungkan?) :)

jadi tu beberapa hari yang lalu ada seorang teman yang menunjukkan saya sebuat thread twitter dari seseorang yang menyebutkan kalau paud itu bukan pendidikan, tapi bisnis. ya dari sepintas saya bisa memahami apa yang beliau maksudkan, beliau dalam balasan tweetnya ada memasukkan sebuah tabel tahapan perkembangan anak, bahwa anak usia dini sedang dalam masa ini, tahapan ini, membaca berhitung, dll itu sudah menyalahi kesemestian anak seperti apa, yang mana dalam lingkup perguruan tinggi saja kadang akademisi punya kecenderungan sendiri dalam memandang si 'tahapan perkembangan anak ini'. semua memiliki landasan dan pandangannya sendiri-sendiri tentang bagaimana seharusnya anak usia dini itu.

ayo balik dulu ke bagaimana pendidikan dan bisnis itu, dua hal ini seperti sejalan tapi jalan yang rumit. kalau dari sebuah lembaga pemberi beasiswa memberikan bantuan keuangan pada awardee-nya, apa sih keuntungan yang didapatkan oleh lembaga itu? uang? kalau bagi penerima pastinya uang untuk pendidikan dan tunjanggan lainnya bagi pemberi beasiswa apa? 
sedangkan bagi orang tua yang menyekolahkan anaknya, apa yang didapatkan dari keputusan mereka mengeluarkan uang demi pendidikan anak-anaknya? 
bagi negara memfasilitasi dan meregulasi pendidikan manfaatnya apa? adakah yang berubah dari dampak adanya  pendidikan tersebut?
hubungan uang dan manfaat yang diperoleh dari pendidikan, apa yang kita peroleh? secara luas dan berkepanjangan. investasi kah? manusia, anak-anak, sebagai investasi kah? rasanya pernah membaca dulu sebuah artikel ilmiah yang membahas dampak dari pendidikan anak usia dini, dibahas dibidang ekonomi dan human capital atau apa sih manfaatnya bagi perkembangan si manusia itu sendiri. kurang etis si ya karena saya udah agak-agak lupa apa isinya, yang pasti dari segi ekonomi, dengan adanya investasi uang yang dicurahkan ke pendidikan anak usia dini apa manfaatnya? investasi tersebut dari kaji dari sebuah program pemerintah amerika serikat, yang mengatakan bahwa hasilnya anak yang mendapat imbas dari program tersebut tidak juga berkembang signifikan (fokus program matematika dan membaca) lalu proses mendidik dari guru juga tidak menjadi membaik. uang yang dikeuarkan pemerintah untuk itu semua apa manfaatnya? ketika disisi kasus misalnya didapatkan dari program tersebut anak baik dibidang IPA karena alokasi waktu yang diluangkan lebih banyak dari pada matematika/membaca. baik itu apa sih? signifikan itu apa sih? apa yang menjadi patokan ini semua? mau diapakan anak-anak kita? kualitas itu yang seperti apa? standar apa yang kita kejar selama ini? apa ini semua benar-benar apa yang anak perlukan? 

itu kalau di amerika serikat ya, kalau di indonesia apa yang terjadi. saya hingga saat ini tidak begitu paham dengan sistem kurikulum yang dicanangkan pemerintah dari keluarnya permen-permen (bukan yang manis-manis itu, teman-teman dari lingkup paud pasti paham). tidak begitu paham, ya sungguh sebuah ketidaktahuan, -sombong pula- tapi dari yang hinggap di otak saya, ada kalimat-kalimat berikut, penilaian otentik, ada unsur seni, itu yang saya ingat dari permen yang terbaru. ditingkatan SD juga begitu, penilaian otentik yang konon katanya sulit. kalau di paud ya kita pasti tidak asing lagi dengan ini, begitu banyak aspek perkembangan anak yang kita harus catat sehari-hari, kemudian assessment tersebut, apa yang harus kita berikan pada anak di esok hari, kegiatan apa yang seru untuk itu, bahan main apa yang sesuai, seberapa lama alokasi waktu yang diberikan kegiatan itu, bagaimana tentang keamanannya, materi apa yang sesuai, kembali ke assessment, bagaimana perkembangan anak hari ini? begitu muter lagi sampai dibagi rapor yang kadang cuma satu paragraf kolom guru curhat perkembangan anak hahaha. bersukur jaman sekarang ada teknologi semacam whatsapp misalnya, orang tua mudah bertanya dan guru mudah langsung mengabari. jadi kalau meluangkan waktu yang lebih anak bisa terpantau terus tanpa menunggu rapor di akhir semester. mekasimalkan portofolio hasil karya anak juga bisa dimaksimalkan kan ya untuk terus menjaga pengetahuan orang dewasa bagaimana perkembangan anak. kerja keras bukan? masih banyak lagi mungkin yang bisa dibahas, ini hanya dari segi implementasi pembelajaran dan evaluasi. butuh SDM guru yang mumpuni untuk mengerjakan semua itu, terus apa penghargaan bagi usaha rekan-rekan guru paud sudah cukup mengcover itu semua? masih banyak guru yang cuma 50 ribu gajinya perbulan, dirapel lagi sampai tiga bulan juga ada, atau malah ada cuma bilang gini sambil tertawa getir, ya memang tidak seberapa (baca kadang ya ada, kadang ya ndak cukup untuk bayar listrik dan air sekolah), anggap saja ladang amal bagi saya :')

bagi penyelenggara pendidikan, sekolah, lembaga yang menaunginya, ini cerita yang lain lagi. mutu-kualitas layanan berbanding lurus sekali dengan keuangan. kelengkapan alat main, sarana prasarana, serta guru yang dibebankan dengan mutu harusnya diberikan sarana dan dana yang masuk akal. masuk akal dalam apa? masuk akal dengan tuntutan kerja keras yang dibebankan. lalu uangnya dari mana? atau dari donatur, atau ada yang kreatif sekolah bisa menciptakan uang dari usaha lain demi kecukupan kebutuhan, lalu dari yang dibayarkan oleh orang tua? kenapa orang tua -konsumen? karena ya memang begitu adanya, coba hitung jumlah sekolah TK negeri dibanding dengan swasta. berapa banyak lembaga paud yang berusaha sendiri menguatkan diri dengan idelisme mutunya tanpa bantuan dana pemerintah. banyak. lembaga yang berdiri seadanya di teras mesjid, di garasi rumah pribadi, demi melayani anak usia dini yang ada disekitarnya. benar-benar seadanya. mutu, kualitas, jauh lah. tapi kebutuhan anak untuk terdidik ada, orang tua mengantarkan dengan harapan-harapan yang baik pula untuk anaknya. mainan yang catnya mengelupas, bengkok-bengkok, crayon yang patah-patah dipakai beramai-ramai pula, satu ayunan direbutkan oleh sepuluh anak, ayunannya berkarat pula, jelek lah. tapi anak-anaknya main saja tu. sekolah sebagai tepat bermain, tempat berteman, tempat berpengetahuan yang baru tercapai dengan keadaan yang demikian alakadarnya. sayang ada yang lebih baik kondisi sekolahnya namun kerap bertanya dan berpendapat seenaknya, oh enak yang guru paud cuma nyanyi-nyanyi terus pulang, tepuk-tepuk terus pulang, atau kok anak saya bilang di sekolah tadi gambar sama melipat, gak belajar anak saya? saya tidak bisa menyalahkan itu, toh kenyataan kebanyakan orang tua kurang paham perkembangan anak itu memang begitu adanya. tapi saya ada rasa tanggung jawab kita dibidang pendidikan paud mengedukasi orang tua, sehingga tidak ada kalimat-kalimat yang demikian. lalu mereka menjadi lebih paham akan kebutuhan anaknya, tidak membebani sekolah-guru dengan harapan-harapan terhadap anak namun lepas tangan saat di rumah masing-masing, dan yang lebih penting tidak segan mengeluarkan 'uang' untuk kualitas yang setara dengan keinginan.

eh tapi paud itu bisnis bukan? iya bisnis, kalau beli franchise luar/dalam negeri. kalau menjanjikan anak bapak ibu disini bisa sempoa, bahasa mandarin, bahasa arab, bahasa inggris dijamin kalau tidak bisa 50% uang kembali (bahasa indonesia kelupaan). ada penawaran dan permintaan. mau yang paud seadanya atau yang banyak macam-macamnya, pasti ada yang ditawarkan dan ada yang inginkan dari orang tua demi anaknya. masuk akal tidak semua itu ditinjau dari kemampuan orang tua kebanyakan dan setersediaan sekolah 'terjangkau' sekaligus bekualitas? banyak pertanyaan saya ya, kadang penasaran sama anak atau cucu menteri-persiden selama ini sekolah paudnya dimana? pre-school/TK nasional atau franchise gemerlap luar negeri? kalau disekolahkan di tempat bagus dan mahal itu, semacam tidak pede dengan kebiajakan terhadap paud yang berjalan selama ini hihihi. saya bisa bergosip panjang sekali tentang sekolah mahal yang uang pangkalnya puluhan juta tersebut... tapi ini untuk dilain waktu lah. selama ini banyak dengar katanya saja, karena cukup susah dapat ijin melihat-lihat sekolah model macam itu. sekolah yang mungkin saya tenang tentang kepintaran anak saya, namun menjadi cemas sekali anak saya enggan nantinya bermain dengan teman-teman di luaran sekolahnya karena mereka 'kurang' atau nanti malah anak saya sulit bicara bahasa indonesia yang baik.

ya dari semua paragraf yang berantakan dan keresahan pribadi tersebut, saya sering meyakinkan diri saya kalau nanti (Insya Allah) diberikan titipan rejeki mendirikan sekolah, sekolah apalagi paud bukan untuk cari uang loh ya, tapi guru-guru-ku harus sejahtera, anak-anak didik-ku harus menerima layanan sebaik-baiknya, dan orang tua yang menyekolahkan anaknya harus sesadar-sadarnya aktif dalam pertumbuhan dan perkembangan anaknya.