Rabu, 19 April 2023

Sebuah Perjalanan

Alhamdulillah Hari ini saya dan suami tepat 4 tahun dalam pernikahan. Kami sudah mengenal satu sama lain dalam waktu yang tidak sebentar, mungkin kurang lebih 16 tahun sudah mengenal. Maka hampir setengah usia kami bisa dikatakan berada dalam lingkaran yang berdekatan. Disatukan dalam pernikahan membuka jalan yang lebih panjang bagi kami berdua untuk membuat lingkaran kami pribadi, untuk perjalan yang lebih panjang lagi. Insyaallah terus menuju pada muaranya yaitu Allah Azza Wa Jalla aamiin.


Perkenalan sebelum pernikahan membuat saya mengenal suami secara kasual. Hingga saya berkesimpulan kualitas laki-laki baik dalam dirinya dalam bertemanan. Jika ada suatu yang bisa mendeskripsikan bagaimanakah dirinya sebagai sosok teman, dia akan selalu ada untuk teman-temannya. Tentu berikut kualitas lainnya yang umum sebagai muslim yang baik. Namun saya juga punya kriteria tertentu, lebih sebagai teman. Sebagai seorang anak, dirinya tidak segan bicara tentang ibunya dan keluarga. Tergambarnya hubungan hangat antara anak laki-laki bersama ibu, bagi saya adalah penanda penting bagaimana seorang laki-laki akan memperlakukan wanitanya di kemudian hari. Alhamdulillah, Allah memberikan jalan saya disatukan dalam pernikahan dengan laki-laki yang demikian.


Kami diberikan ujian kesabaran selama 1,5 tahun menanti kehadiran anak di dalam pernikahan. Usia kami menjelang 30 tahun saat itu kami rasa tidak ada alasan menunda kehadiran anak, karena tentu kami tidak akan bertambah muda lagi maka ini adalah pilihan yang bijak. Ternyata ikhtiarnya juga tidak mudah, secara mental kami berdua dihadapkan dengan ujian masing-masing. Kualitas suami sebagai imam di keluarga kami saya syukuri dalam masa-masa ini. Saya wanita yang lemah dalam menerima keadaan diri apa adanya, namun suami yang menerima diri yang demikian ini dengan secara lapang. Tumbuh dengan citra tubuh yang negatif, adapun kekurangan saya  bukan hanya diterima namun diangkat, didukung dimotivasi agar ikhtiarnya kami bersama menjadi orang tua lebih baik. Saya menjadi lebih semangat olah raga dan belajar agama lebih baik. 


Seperti gambaran sebelumnya tentang ujian kesabaran menanti anak, suami saya juga menghadapi ujiannya sendiri. Tidak terpikir sebelumnya bagi saya bahwa laki-laki dapat ujian sendiri dalam usaha menjadi orang tua. Di tengah-tengah ujian tersebut kami berdua mundur. Berharap berjuang lagi nanti, di awal tahun 2021. Takdirnya Allah di masa kami mundur ini, saya hamil. Maha Kuasa Allah. Selama masa kehamilan saya dihadapkan dengan ujiannya seorang ibu hamil, fisik dan mental. Tidak terpikir oleh saya perubahan tersebut membuat saya cukup kewalahan. Namun dengan suka cita suami membersamai kehamilan, sehingga dengan mencerna kalimat polosnya menanggapi keluh kesah saya pun terhibur. 


Maha Penyayang Allah, ujian kami bukannya berkurang malah ditingkatkan. Diusia kandungan 7 bulan datanglah berita seperti langit yang runtuh di pundak kami. Calon anak yang akan saya lahirkan terdeteksi memiliki kelainan jantung bawaan, tidak hanya yang sederhana namun sangat kompleks. Hati saya hancur, belum lahir sudah memikirkan bagaimanakah agar anak ini hidup. Tidak terbayangkan bagaimana hati suami saya. Namun dengan ujian ini, kami saling melengkapi. Mental saya cukup kuat untuk mencari tahu, belajar tentang bagaimanakah takdir yang akan kami hadapi dan prediksi kondisi anak. Sedangkan peran tersebut ketika anak kami lahir suami yang lakukan.


Masa awal kelahiran anak pertama kami Sarah bersamaan dengan gelombang delta. Kondisinya butuh waktu untuk diobservasi sehingga saya hanya melihatnya sesaat lahir dan sesaat sebelum pulang setelah melahirkan. Kami dihadapkan dengan pilihan sulit seperti harus memberikan susu formula dan tidak bisa merawatnya langsung seperti harapan ideal saya. Hasil perasan susu yang tidak seberapa di jam awal kelahiran bahkan ditolak diberikan pada anak kami. Membuat saya mantap segera pulang untuk fokus pompa di rumah. Apresiasi setinggi-tingginya pada suami. Dimintai untuk belajar pijat laktasi dilakukan, membangunkan saya untuk pompa tengah malam sambil memijati, dan merawat pergerakan saya yang sangat terbatas sehabis melahirkan. Itu hanya untuk saya, untuk Sarah setiap pagi dan sore hari hasil pompa ASI diantarkan dengan jarak yang cukup jauh dengan kondisi kota yang diblokade karena lonjakan kasus delta serta pergi sendiri menemui dokter jantung mendengarkan diagnosa anak kami. Sungguh tempaan metal yang luar biasa Allah berikan pada suami dan ia sanggup jalankan bukan hanya ikhlas namun sangat baik.


Terkait ASI, kami sepakat untuk memberikan usaha yang terbaik untuk Sarah. Banyak kisah kesulitan ibu lain selama proses ini. Bisa dibilang saya cukup keras kepala melaluinya. Tapi keras kepala saja tidak cukup, dukungan keluarga sangat penting. Kami masih tinggal dengan orang tua, tanggung jawab menjalankan tugas rumah menjadi lebih ringan sehingga bisa fokus belajar dan menjalani menyusui. Manajemen ASI perah juga tidak mungkin saya sanggup lakukan tanpa suami dan keluarga yang bergantian membantu cuci alat perah yang perlu banyak persiapan sebelum digunakan. Sarah adalah tanggung jawab yang besar, alhamdulillah Allah memberikan anak istimewa sehingga saya belajar banyak hal yang tidak terpikirkan sebelumnya jika anak kami dikaruniai anak sehat seperti kebanyakan. Bisa jadi kami lalai, mengentengkan urusan perawatan dan pengasuhan. Namun karena Sarah istimewa, kami berdua fokus melengkapi satu sama lain untuk Sarah.


Hikmah pandemi yang saya pribadi rasakan sebagai ibu baru adalah dapat bersama dengan bayi dengan waktu yang lebih lama. Tidak terkait kehadiran di tempat kerja. Keadaan tersebut tentu tidak berlangsung selamanya, waktu tugas yang tidak bisa dihindari suami dan ibu-ibu kami bergantian menjaga Sarah. Bersyukur dengan kesibukan saya dan suami tetap bisa saling melengkapi dalam urusan perawatan. Sarah tumbuh dengan mama dan papa yang hampir selalu ada di sampingnya 


Tiba di masa terberat sebagai orang tua, kami harus mengikhtiarkan kualitas hidup Sarah. Sakitnya Sarah tidak banyak, ujian pertama awal kelahiran, kedua saat Sarah stroke, ketiga hari-hari sembelit, dan keempat hari-hari Sarah sejak operasi sampai di ICU. Menyerahkan pada Allah apapun hasilnya, Sarah kami putuskan untuk dioperasi. Keputusan ini berat namun harus kami tempuh untuk ikhtiarnya kualitas hidup Sarah yang lebih baik. Kehendak Allah yang terbaik, Sarah selamat melalui operasi yang sangat sulit. Selama 16 hari kami menunggu proses pemulihannya. Jalan Kota Bambu Selatan, lorong rumah sakit dan lift 8 lantai menjadi perjalanan akhir kami sebagai orang tua. Kami datang dengan optimisme segalanya akan baik-baik saja. Dalam ingatan saya lekat bagaimana suami bersujut sukur paska operasi yang panjang, cerita yang kami berdua bagi dengan orang tua lain termasuk yang kami terima, semua lemah namun saling menguatkan. Tidak terbayangkan jika hari-hari tersebut terjadi tanpa rangkulan erat suami dan doa-doa yang dipanjatkan bersama. 


Sekarang keluarga kecil ini hanya kami berdua. Hal yang saya dengar adalah betapa kuatnya saya kehilangan Sarah. Tidak banyak yang tahu, saya berjuang tegar hidup untuk yang hidup, untuk suami dan orang tua kami. Air mata saya setitik pun tidak sanggup saya keluarkan di depan orang tua kami, cukup pedih kehilangan cucu tidak perlu sedih melihat anak-anaknya bersedih. Suami saja yang melihat itu semua di waktu-waktu privat kami, menguatkan dan meluapkan rasa rindu kami yang tidak terbendung pada Sarah. Terima kasih terus menjadi sandaran duka dan bahagia perjalanan pernikahan ini.