Jumat, 10 April 2020

Pembelajar

Halo semoga selalu dalam keadaan yang damai dan berkecukupan, lahir maupun batin. Ini ditulis pada salah satu sejarah kesehatan manusia, pandemi COVID-19. Terhitung sejak tanggal 23 Maret 2020 kegiatan belajar dari level PAUD hingga perguruan tinggi di-rumahkan hingga sekarang tanggal 10 April 2020 saat tulisan ini diterbitkan, masih belum ada kepastian kapan kegiatan akan berjalan seperti semula lagi. Meskipun saya yakin keadaan pasca pandemi ini tidak akan sama lagi seperti sedia kala. Proses belajar secara konvensional tatap muka yang diarahkan untuk mulai dengan kelas jarak jauh atau kelas daring akhirnya terlaksana 'terpaksa'. Lebih dari yang sudah diarahkan yaitu sebanyak tiga kali pertemuan saja, menjadi kemungkinan lebih dari tiga kali atau bahkan tidak ada yang mengetahui secara pasti apakah semester ini masih ada kesempatan pertemuan tatap muka atau berlanjut secara daring. Secara keseluruhan kita jadi belajar berhubungan jarak jauh. Untuk situasi di masa yang akan datang tentu sudah mulai terbiasa dengan keadaan belajar seperti ini. Sebuah pembaharuan! 

Tentang belajar disituasi physical distancing yang kita lakukan ini, saya benar-benar merindukan situasi tatap muka di dalam kelas. Meskipun sebagai seorang introvert, lebih nyaman rasanya berbicara langsung di depan kelas, dibandingkan dengan di depan layar. Lebih malu dan lebih segan rasanya jika tidak dapat membaca reaksi langsung dari lawan bicara (for me phone call or video call is awkward kind of communication, so i rather not. not my first choice of connecting with people even the love ones! sorry for the nonsense). Filosofi ku interaksi langsung adalah layanan mendidik. Meskipun filosofi pendidikan orang dewasa sejatinya membantu belajar saja, namun ada peran hubungan timbal balik di dalamnya. Saya sebut belajar dari pada mengajar, karena sebagai pendidik sekalipun setiap selesai di kelas ada sedikitnya benang yang terurai dari pembelajar. "Oh dia ini bukannya sulit berbicara, hanya terbatas ketika dituntut dengan bahasa indonesia. Baik lain kali biarkan dia dengan bahasa logat serta kemampuannya ketika berbicara.", renungan ku ketika seorang mahasiswa lancar bercerita ketika menyebutkan dirinya sebagai AKU ketimbang SAYA. Dosen belajar. 

Tetapi terlalu sederhana jika kukatakan interaksi secara daring pun, tidak terdapat pemahaman baru terhadap pembelajar. Filosofi ku terhadap keaktivan di kelas, hanya akan meminta berbicara yang sukarela mau berbicara. Sedangkan secara daring saya hindari live conference, ternyata dalam forum ketik hampir semuanya bisa berpendapat, bertanya, menambahkan dan lain sebagainya. Saya berkontemplasi, "Ya kan, adik-adik ini bukannya tidak sedang berpikir sebenarnya di kelas. Hanya perkara kenyamanannya saja dalam berkomunikasi. Ada yang mudah berbicara, ada yang mudah dengan bahasa tertulis.". Tidak ada yang lebih baik dari salah satunya, senang bicara baik, senang ditulis pun baik (sebuah pembelaan terhadap para introvert yang belum keluar dari gelembungnya). 

Suatu hari sebelumnya, pernah saya ceritakan mengenai hal ini. Sebagai seorang mahasiswa pun saya dulu kesulitan untuk bebicara, bukan mengenai tata bahasa hanya malu saja. Sedangkan seorang teman dulu sulit berbicara dengan tata bahasa formal, maka jalan keluarnya saya bantu teman dengan dituliskan lalu dibacakannya ketika berbicara. Menang sama menang kan? Eh tapi tidak semudah itu. Bidang yang kelak akan saya tekuni pada saat itu adalah pendidikan, calon pendidik. Terampil berkomunikasi adalah kunci keberhasilan berhubungan dengan subjek pendidikan. Pelan-pelan dengan kecanggungan berbicara di depan umum saya tantang. Pada akhirnya sekarang menjadi tuntutan, menjadi "lecturer" -penceramah-dosen. Meskipun dalam undang-undang katanya berubah sekarang sebagai pendidik. Sehingga konsep menceramahi itu sudah bergeser. 

"Saya yakin teman-teman yang introvert seperti saya, bukannya sedang tidak berpikir dalam kelas. Iya kan? Hanya sulit mengumpulkan keberanian atau canggung berpendapat dan bertanya di depan banyak orang kan? Yakinlah berbicara itu harus dilatihan, jika sulit dituliskan saja dulu. Lama-lama orang banyak tidak akan menakutkan lagi, jika kita terbiasa. Terlebih jika sudah memahami topik yang dibicarakan, pasti lebih lancar." Percakapan saya pada kelas semester 1 yang mungkin masih menyesuaikan diri dengan situasi perkuliahan dengan tuntutan aktif berkomunikasi untuk belajar. Di akhir semester saya dapati surat kritik dan saran dari seorang mahasiswa yang isinya kira-kira berterima kasih atas dorongan kepercayaan diri sebagai seorang yang pendiam untuk belajar menjadi dirinya yang upgrade dalam berbicara. Sentuhan personal seperti ini yang tidak mudah digantikan dalam belajar daring. 

Tentu saya penuh kekurangan, tidak jarang surat adik dan kakak di kelas meminta saya untuk memelankan tempo berbicara. Ada yang meminta saya mendatangkan ahli pada bidang tertentu, atau sekedar mengganti situasi dalam kelas menjadi luar kelas. Selalu ada ruang untuk berkembang bagi pendidik dan peserta didik kan? Can't complain about nowadays situation. But as I said, really miss the personal touch from people to people in an educational setting. Proses mengenal dan menyesuaikan secara langsung tidak akan pernah tergantikan teknologi hubungan jarak jauh (paling tidak secara klasikal sulit, mungkin perorangan (?)). Semoga dalam situasi yang luar biasa ini kita tetap bisa saling belajar dan menjadi terpelajar. 

Tidak ada komentar: