Sabtu, 30 Oktober 2010

cerita jalan

tiap pagi jalan yang saya lewati untuk beraktifitas adalah dr. Wahidin (hampir selalu begitu disepanjang hidup saya). sejak SD hingga kuliah sekarang, jalan itulah yang saya lalui. dari masih diantar hingga kemudian bisa mengendarai kendaraan sendiri. berbagai macam hal yang saya jumpai, lihat, dan alami sepanjang perjalan tersebut. bertahun-tahun melalui jalan-jalan itu, banyak perubahan di sisi kiri dan kanannya. dulu masih banyak tanah kosong yang isinya cuma padang rumput, pohon-pohon, ladang singkong, dan rumah-rumah yang halamannya luas. sekarang tanah-tanah kosong itu sudah dibangun ruko-ruko, di depan rumah-rumah yang halamannya luas ada yang dibangun kios-kios. sisi kiri dan kanan jalan tidak sesepi dulu lagi. sudah banyak yang berubah. kecuali kebun pisang di dekat lapangan futsal, saya harap kebun pisang yang meskipun terlihat horor dimalam hari itu akan tetap lestari.haha dulu kalau musim kemarau jika lewat kebun pisang itu, ada suara serangga yang nyaring sekali. bunyinya melengking berdengung-dengung. seperti suara serangga yang dikejar-kejar nobita ketika musim panas. yang tidak berubah juga adalah pasar pagi, selalu ramai dan kadang membuat macet. yang paling baik diantara perubahan-perubahan di jalan itu adalah sekarang ada lampu merah di perempatan jalan dr. Wahidin, P. Natakusuma, dr. Sutomo, dan Danau Sentarum. cukup membantu lalu lintas yang semakin padat di pagi hari dan sore hari.

beberapa peristiwa terjadi di sepanjang jalan selama ini yang berkesan dan selalu saya ingat. pertama adalah ketika pulang jam 9 malam. mungkin ketika saya SMP, lupa tepatnya. waktu itu salah satu lampu jalan ada yang pecah bagian luarnya, jadi nampaklah serabut-serabut api seperti pada bohlam pijar yang kaca transparanya pecah. jalan menjadi redup. ada seorang pria yang umurnya mungkin seumuran ayah saya, menggonceng seorang wanita yang masih cukup muda. motor mereka berhenti tepat di bawah lampu jalan. masih di atas motor itu, sang wanita memeluk erat si bapak, kepalanya mendongak melihat ke lampu jalan yang pecah, wajahnya menunjukkan ekspresi kaget, heran, seperti melihat sesuatu yang janggal. saya tidak melupakan bagaimana cara wanita itu melotot memandagi lampu jalan itu, mulutnya seperti hendak mengucapkan kata-kata tapi terbata-bata. bapak yang menggoncengnya menguncang-guncang tangan wanita yang memeluknya itu. tapi wanita muda itu tetap mendongak melihat lampu jalan. saat saya melihat kejadian itu, saya mengendarai motor dengan pelan. sepertinya ekspresi wajah saya juga heran melihat wanita itu.

kejadian kedua adalah ketika saya kelas 1 SMP, abang saya kelas 3 SMA. kami pulang sekolah dengan motor bersama, abang saya mengonceng saya. waktu itu ada gundukan pasir yang dituangkan terlalu ke tengah jalan, ceroboh sekali..jadi salah satu sisi jalan menjadi agak menyempit. ada sebuah mobil mini bus berwarna hitam yang berjalan pelan, bahkan seperti diam. ketika motor hendak mendahului mobil itu, tiba-tiba kecepatan mobil bertambah, sementara diberlawanan arah ada motor lain, jadi abang saya mengelakkan motornya agar tidak terserempet mobil itu. hampir saja motor kami bertabrakan dengan motor yang dari arah berlawanan itu. abang saya memandang sinis pengemudi mobil yang ternyata bapak-bapak gemuk dan berkumis tebal. bapak itu balas memandang abang saya dan membentak, "Ngapa?!" abang saya membalas, "Ngape!"motor kami dan mobil itu berjalan berdampingan, kecepatan kami seperti sama, tapi seperti terjadi sedikit kejar-kejaran penyelarasan kecepatan berkendara. wajah abang saya dan bapak itu masih sama-sama sengit. dan wajah abang saya semakin sengit sepertinya, bapak itu membentak lagi "Sini kau!" akan ada baku hantam pikir saya waktu itu. abang saya manjawab "Ayok!" tapi kami sudah dekat dengan mesjid depan komplek. jadi abang saya belok ke jalan komplek dan berhenti. mobil bapak itu pun berhenti. saya sudah deg-degkan ketakutan dari tadi akhirnya bicara "Bang..." saya kira abang saya akan turun dari motor lalu terjadilah adegan-adegan film-film silat. ternyata abang saya kembali menghidupkan motor dan kami melaju masuk dalam komplek menuju rumah kami. "Iseng gertak jak. mane berani...bapak-bapak gitu. hahahahahaha"

ketiga, sering sekali saya melihat seorang anak dengan pakaian lusuh, kadang-kadang koyak berjalan di dr. Wahidin. anak itu tidak berjalan normal, tertatih-tatih pincang dan tangannya ketika berjalan hanya mengayun kecil, tangannya merapat ke badan. sepatunya butut dan kadang berganti-ganti tapi tetap sepatu butut, kadang memakai topi berwana merah. wajahnya tidak bulat sempurna, matanya sepeti tidak simetis kiri dan kanan. kalau dilihat-lihat sebenarnya sudah berusia seperti anak SMP. biasanya saya lihat dia di pagi hari, beberapa kali juga di siang hari dan sore hari. entah kenapa dia selalu berjalan kaki, entah sebenarnya apa yang dia tuju pun saya tidak tau. yang saya yakini mungkin anak itu bekerja, mungkin menuju tempat ia bekerja. tapi dia jelas masih anak-anak, meskipun bukan anak kecil lagi. apakah dia bekerja? ditambah dengan kondisi fisiknya yang tidak sempurna, apakah dia bekerja? suatu pagi saya mengopi makalah kuliah saya di toko fotokopi yang menjual berbagai macam alat-alat lainya, cukup beragam berang-barang yang dijual di sana. datanglah anak itu ke toko. si toke pemilik toko yang melihat anak itu datang dengan terpincang-pincang segera mengeluarkan uang, belum anak itu sampai masuk ke toko si toke sudah melambaikan uangnya pada anak itu. sepertinya si toke tidak ingin anak itu masuk, tapi anak itu tetap masuk. anak itu bilang "Kaus kaki", toke yang punya toko lantas mengambil kaus kaki yang memang ada di jual di tokonya "Dah dah.." nadanya seperti mengusir, si toke seperti tidak nyaman dengan kedatangan anak itu. anak itu lalu bertanya "Berapa?" toke menjawab "Lima ribu". apa yang di lakukan anak itu? dari kocek bajunya yang lusuh dia mengeluarkan selembar uang lima ribu kemudian memberikannya kepada toke dan membawa kaus kaki yang baru dibelinya itu keluar. tidak jauh di luar dia membuka sepatu dan memakai kaus kaki barunya. saya takjub, beberapa orang di toko itu juga saya rasa takjub. pakaiannya lusuh jelas seperti gelandangan, bisa saja dia mengambil uang yang pertama dilambaikan oleh toke, atau bisa juga dia mengambil kaus kaki di toko itu secara cuma-cuma jika ia memang meminta, tapi dia membeli, tidak mengemis. saya membayangkan bagaimana berjalan sepanjang aspal jalan dr.Wahidin, memakai sepatu tetapi tidak menggunakan kaus kaki, kaki saya sudah pasti lecet. bagaimana dengan anak itu? kaus kaki putih baru dengan sepatu lusuhnya itu terlihat kontras sekali di kakinya, kaus kaki baru dan sepatu yang lusuh. sore tadi saya melihat anak itu di depan sebuah panti asuhan di jalan Uray Bawadi, sedang bercakap-cakap dengan anak-anak lainnya.

berbagai macam orang yang saya lihat di jalan dr.Wahidin, berpapasan dan terlupakan. beberapa kali terjatuh di jalan dr.Wahidin juga. bertahun-tahun saya melihat perubahan di jalan ini. semakin ramai. itu kesan saya, karena bisa dibilang jalan ini bukan jalan utama kota. tidak ada kantor-kantor penting, bukan daerah tujuan kerja, sekolah pun hanya beberapa. mungkin makin ramai karena maraknya dibuka pemukiman-pemukiman baru. saya rindu dengan embun di tanah-tanah kosong di tepi-tepi jalan ketika saya berangkat SD dulu, atau matahari yang dulu masih nampak disela-sela pohon ketika tenggelam di horizon. semoga si jali yang suka ngedar dekat rumah putih pagar besar yang dulunya suka pakai seragam polisi, sekarang pakai seragam polisi lagi. soalnya si jali suka pakai baju merah yang ketat sekarang. dadanya seperti disumpal sesuatu pula -_-

Tidak ada komentar: